Penginjil itu bernama
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
Oleh Jaludieko
Pramono
Seorang pria jawa datang ke Mojowarno di sekitar tahun
1853. J.D. Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul Babad Zending ing Tanah Jawi
menggambarkan lelaki sebagai sosok yang tampan. Berhidung mancung dengan sorot
mata yang tajam seakan bisa melihat isi hati orang yang dihadapinya. Tubuhnya
tinggi ramping namun kuat dan pemberani.
Pada J.E. Jellesma, gembala sidang jemaat di Mojowarno
pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Kiai Tunggul Wulung. Ia mengaku sebagai
pertapa yang baru turun dari Gunung Lawu.
Namun Wolterbeek menyebut asal-usul Tunggul Wulung
sangatlah buram lantaran sangat lekatnya antara fakta dan mitos yang
menyelimutinya sebagai orang yang memiliki kemampuan olah batin.
Menurut tradisi lisan yang beredar di sekitar Muria, Kiai Tunggul Wulung adalah anak seorang selir Raden Ngabehi Atmasudirdja (Bupati Pulisi Pura Mangkunegaran) yang dilahirkan kira-kira pada tahun 1800 dengan nama asli Raden Tandakusuma.
Ia kemudian menjadi seorang demang di kawasan Kediri
dengan nama Raden Demang Padmadirdja tetapi karena keterlibatannya dengan
Perang Diponegoro 1825-1830, maka ia menyembunyikan diri dan menjadi rakyat
jelata di kawasan Juwono, Kediri. Sedang sumber lain menyebutkan nama aslinya
Abdullah.
Mengenai hal tersebut A.G. Hoekema menyatakan bahwa sikap
Kiai Tunggul Wulung yang sering membangkang terhadap orang Belanda menunjukkan
bahwa kemungkinan ia berasal dari golongan bangsawan atau priyayi.
Oleh sebab itu, pernyataan Kiai Ngabdullah mengenai
pekerjaannya sebagai petani, seperti yang tercatat di dalam laporan-laporan
Residen Jepara, mungkin saja sengaja dibuat dengan maksud untuk menyembunyikan
identitas aslinya sebagai pengikut Diponegoro.
Jellesma pun menerima Tunggul Wulung sebagai tamu yang
dihormatinya. Apalagi kiai Jawa itu mengatakan ingin mempelajari Kekristenan.
Hal itu membuat Jellesma heran, lalu ia pun bertanya sebab musabab
keinginannya.
Maka dikisahkannya, ia menemukan sepotong kertas yang
bertuliskan Sepuluh Hukum Allah saat bertapa di Gunung Lawu. Tunggul Wulung
mengaku mendapat wahyu dari Tuhan yang mengatakan bahwa ia harus menaati hukum
ini dan disarankan meminta penjelasan tentang agama yang sejati kepada
orang-orang yang tinggal di Sidoarjo dan Mojowarno.
Jellesma pun memutuskan untuk menerima Kiai Tunggul
Wulung dan istrinya, Nyai Endang Sampurnawati. Keduanya tinggal di Mojowarno
dan belajar kekristenan serta baca-tulis dari Jellesma. Dua tahun kemudian dia
pun dibaptis oleh Jellesma dan diberi tambahan nama Ibrahim.
Menabur Benih di
Tanah Jawa
Selanjutnya Kiai Tunggul Wulung mulai melakukan pekabaran
Injil ke kawasan Malang. Dimulai di desa Pelar dan melanjutkan pekabaran
Injilnya ke Dimoro (Kepanjen), Jenggrik (Malang) dan di Jungo (Pandaan). Di
wilayah-wilayah itulah Kiai Tunggul Wulung mendirikan komunitas-komunitas
Kristen.
Metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Tunggul Wulung
adalah melalui jejagongan (cerita-cerita sambil melepas lelah seusai bekerja)
sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengarkan pidato
atau ceramah seperti yang dilakukan para penginjil Eropa.
Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh Tunggul Wulung
adalah melalui debat ngelmu. Sifat orang Jawa pada waktu itu, cenderung akan
mengikuti orang yang mampu mengalahkan ilmu yang dimilikinya.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Tunggul Wulung menerima
tawaran Sem Sampir (murid Jellesma yang diperbantukan kepada Pieter Jansz di
Jepara sebagai pembantu penginjil pribumi) untuk membantunya melakukan
pekabaran Injil di wilayah Jepara-Jawa Tengah.
Bersama Sem Sampir, Tunggul Wulung justru melakukan
penginjilan di daerah Kabupaten Juwono, serta di Margotuhu Klitheh dan Ngluwang
(sebelah utara Tayu). Aksi tersebut membuat geger para penguasa kolonial karena
ternyata ada seorang Jawa yang menjadi Kristen, menerima pelajaran agama
Kristen dan memberitakan Injil diantara orang pribumi.
Keadaan tersebut membuka mata para pemerintah kolonial
mengenai adanya kekristenan Jawa yang berada di luar utusan-utusan Injil Eropa
dan dilakukan secara bebas tanpa terbatasi oleh wilayah tertentu seperti yang
berlaku bagi para utusan Injil Eropa.
Jemaat-jemaat yang didirikan oleh orang-orang awam dan
penginjil Jawa bersifat integratif. Sekalipun mereka dibaptiskan oleh pendeta
dari kelompok lain, mereka membentuk jemaat Jawa yang terpisah.
Mereka mendorong orang-orang Jawa untuk tetap menjadi
bagian dari budaya dan masyarakat mereka, oleh sebab itu jemaat ini dapat
tumbuh secara pesat. Jemaat ini pulalah yang dikembangkan oleh Kiai Ibrahim
Tunggul Wulung di kawasan Gunung Muria.
Di kawasan Muria, Ibrahim Tunggul Wulung berhasil
membujuk dan mempengaruhi pengikut-pengikutnya dari berbagai tempat seperti
Kayuapu, Bangsal, Ngalapan, Margotuhu dan tempat-tempat lain termasuk pengikut
zendeling Peter Jansz di sekitar Jepara.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikut-pengikutnya
mulai membangun desa-desa Kristen, mula-mula di kawasan angker yang diberi nama
Ujungjati kemudian bergeser ke arah selatan termasuk kawasan angker tempat
tinggal Mbah Suto Bodo yang adalah tokoh mistik penguasa dunia roh di kawasan
pesisir antara Jepara dan Tayu.
Pada tahun 1857 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga
melakukan kunjungan penginjilan ke berbagai tempat, antara lain ke kawasan
Banyumas dan Bagelen untuk melihat hasil pekerjaan Ny. Van Oostrom Phillip dan
Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menjadi motivator dan pemberi
semangat kepada Ny. Van Oostrom Phillip di Banyumas dan Ny. Christina
Petronella Phillips-Stevens di Ambal agar tidak ragu untuk melakukan pekabaran
Injil kepada orang-orang Jawa.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri tidak memusatkan
penginjilannya di daerah Banyumas ataupun Bagelen tetapi lebih memusatkan
perhatiannya untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo Kabupaten Jepara, desa
Kristen Banyutowo dan desa Kristen Tegalombo di Kabupaten Juwono.
Guillot mencatat bahwa pengikut Kiai Ibrahim Tunggul
Wulung sendiri berjumlah 1.058 orang dan jumlah tersebut melebihi hasil
pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zendeling di kawasan yang sama
dan dalam waktu yang sama.
Membumikan
Kekristenan
Latar belakang Kiai Tunggul Wulung sebagai seorang petapa
dan pencari ngelmu telah membuat ajaran-ajarannya mengenai kekristenan menjadi
sangat khas "Kristen Jawa" versi Tunggul Wulung.
Menurut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Ratu Adil yang
selama ini diharap-harapkan kedatangannya oleh orang Jawa tidak lain adalah
Kanjeng Nabi Isa Rohullah. Yesus Kristus menurutnya akan datang untuk kedua
kalinya untuk memerintah kerajaannya sebagai Ratu Adil dalam Kerajaan Seribu
Tahun-Nya.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memandang bahwa orang Kristen
Jawa haruslah tetap Jawa dan tidak perlu menjadi seorang Belanda ataupun
menjadi pengikut utusan Injil Eropa.
Oleh sebab itu, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menyatakan
bahwa lelagon (nyanyian), tata panembah (upacara), cara panganggo (cara
berpakaian), nanggap lan nonton wayang (ikut serta dalam pertunjukkan wayang),
bahkan rapal dan primbon tidaklah perlu ditinggalkan.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga menyebut tempat
ibadahnya sebagai masjid dan menciptakan rapal baru yang bercorak Kristen.[1]
Rapal tersebut berbunyi demikian:
Bapa Allah, Putra
Allah, Roh Suci Allah
Telu-telune tunggal
dadi sawiji
Lemah sangar kayu
angker
Upas racun pada tawa
Idi Gusti manggih
slamet salaminya
Artinya:
Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci
Ketiganya menjadi satu
Kawasan yang berbahaya, pohon yang jahat
Segala racun bisa akan menjadi tawar
Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya
Tunggul Wulung juga melakukan pemribumian terhadap tata
cara yang berkaitan dengan ritual pengakuan dosa dan dikembangkannya di jemaat
Banyutowo. Menurutnya, seseorang yang mengaku dosa harus melakukannya secara
langsung di depan jemaat.
Dan untuk menyambut kembalinya domba yang tersesat
tersebut diselenggarakanlah pesta ucapan syukur berupa pesta kupat-lepet
(ketupat dan lepet) yang selaras jika dikaitkan dengan ngaku lepat (pengakuan
bersalah) dalam upacara pengakuan dosa tersebut.
Injil keselamatan bagi Tunggul Wulung merupakan suatu
konsep tentang pelepasan dan bukan penebusan seperti yang didengung-dengungkan
oleh para pekabar Injil Eropa.
Bagi masyarakat Jawa pada saat itu, yang menakutkan
hidupnya bukanlah penghukuman dari Tuhan akibat dosa-dosa manusia melainkan
pelepasan dari ketakutan terhadap kuasa jahat yang kemudian diperluas sebagai
pelepasan dari kerja paksa dan perbudakan oleh bangsa asing. Pelepasan tersebut
telah terjadi melalui Yesus Kristus, oleh sebab itu berserah kepada Allah
berarti terlepas dari kuasa jahat dan segala jenis perbudakan.* (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar