Minggu, 06 April 2025

Sebuah Catatan Timnas ‘Indonesia’ di Piala Dunia 1938

 Ditulis kembali oleh: Luddy E. Pramono

 

Pemain, pelatih dan ofisial Tim Hindia Belanda yang diterjunkan di ajang Piala Dunia 1938 di Prancis.(Foto by: nationalgeographic.grid.id)


Dari Pelabuhan Tanjung Priok, Timnas Indonesia berangkat pada 27 April 1938. Tim ini berkekuatan 17 pemain dan ofisial yang dipimpin seorang pelatih berkebangsaan Belanda, Johannes Mastenbroek.

Data dari nationalgeographic.grid.id menyebut, nama-nama pemain yang tergabung di timnas Indonesia atau Hindia Belanda kala itu adalah Tan "Bing" Mo Heng (HCTNH Malang) dan Jack Samuels (Hercules Batavia) yang berposisi sebagai penjaga gawang.

Di posisi bek ada beberapa nama seperti Harting J. Dorst (Houdt Braaf Stand/HBS Soerabaja), Frans G. Hu Kon (Sparta Bandung) dan Teilherber (Djocoja Djogjakarta).

Sedangkan pemain tengahnya antara lain G.H.V.L. Faulhaber (Djocoja Djogjakarta), Frans Alfred Meeng (SVBB Batavia), Achmad Nawir (HBS Soerabaja), Anwar Sutan (VIOS Batavia), G. Van den Burgh (SVV Semarang)

Lalu barisan penyerangnya adalah Tan Hong Djien (Tiong Hoa Soerabaja), Tan See Han (HBS Soerabaja), Isaac "Tjaak" Pattiwael (Voetbal Vereniging/VV Jong Ambon Tjimahi), Suwarte Soedarmadji (HBS Soerabaja), M.J. Hans Taihuttu (VV Jong Ambon Tjimahi), R. Telwe (HBS Soerabaja) dan Herman Zomers (Hercules Batavia)

Sebagaimana dikutip dari surat kabar mingguan yang terbit di Batavia, Java Bode, sebulan lamanya Timnas Indonesia yang akan berlaga di ajang Piala Dunia 1938 itu mengarungi lautan di atas Kapal Baluran menuju pelabuhan Genoa di Italia.

Situs Java Post menulis, rombongan atlet dan pelatih sepakbola itu melanjutkan perjalanan dari Genoa menuju Belanda dengan menggunakan moda transportasi kereta api. "Disambut hujan gerimis serta ratusan penggemarnya, mereka tiba di stasiun Den Haag pada 18 Mei," begitu yang tertulis di situs tersebut. Beberapa ratus orang penggemar menyambut kedatangan mereka dengan teriakan yel-yel.

Di Kota Wassenaar, tim Indonesia tinggal selama sebulan. Mereka menginap di Hotel Duinoord. Selama disana mereka berlatih sekaligus menggelar sejumlah latih tanding dengan sebuah klub asal Den Haag yang berakhir dengan skor 2-2 serta melawan klub dari kota Haarlem yang diakhiri dengan kemenangan 5-3.

Di awal Juni, rombongan ini berangkat ke Prancis untuk mengikuti perhelatan piala dunia atau atau Coupe de Monde. Tidak seperti sekarang yang menggunakan pola setengah kompetisi di babak penyisihan grup, kala itu seluruh pertandingan menggunakan sistem gugur.

                                     


Kesebelasan tim Hindia Belanda berfoto sebelum berlaga melawan Hungaria di Piala Dunia 1938. (Foto by: nationalgeographic.grid.id)

Aksi Para Kurcaci

Pada 5 Juni 1938, Timnas Hindia Belanda alias Indonesia melakoni debutnya di Piala Dunia. Satu-satunya wakil dari Benua Asia itu bertanding melawan tim kuat Eropa sekaligus kandidat juara dunia, Hungaria di Stadion Reims, Prancis.

Semula Jepang yang ditunjuk, namun karena kendala transportasi, negara itu mengundurkan diri. Hindia Belanda akhirnya menggantikan posisi itu tanpa melalui ajang kualifikasi piala dunia seperti yang dilakukan saat ini.

Dalam buku sejarah piala dunia terbitan London disebutkan, para pemain Hindia Belanda didominasi para pelajar. Selain itu ada juga laporan yang menulis mereka adalah para pegawai yang bekerja untuk pemerintah kolonial. “Kapten timnya (Achmad Nawir-red) seorang dokter yang menggunakan kacamata,” tulis wartawan The Times yang meliput pertandingan itu.

Sejumlah catatan menunjukkan, para pemain Hindia Belanda, sebagian besar berusia sekitar 25 tahun. Mereka kelahiran antara tahun 1912 hingga 1916. Hanya seorang yang kelahiran 1909, yaitu Hans Taihuttu.

Laporan sebuah koran Perancis yang dikutip The Times menyebut para pemain Hindia Belanda ini “Bien trop petits” alias bertubuh pendek. "Rata-rata tinggi mereka sekitar 160 sentimeter,” tulis wartawan olahraga Belanda, CJ Goorhoff, yang meliput langsung laga di Stadion Rheims. Frans Meeng menjadi pemain tertinggi dengan postur 178 sentimeter.

Adapun berat badan mereka berkisar antara 65 kilogram sampai 70 kilogram. Walikota Reims menjuluki Timnas Hindia Belanda itu mirip kurcaci. "Saya seperti melihat pesepakbola Hungaria dikerubuti 11 kurcaci," katanya berkelakar.

Meski tergolong pendek, imbuhnya, para pemain depan Hindia ternyata jago menggocek bola. "Gaya menggiring bola pemain depan Tim Hindia Belanda, sungguh brilian…,” begitulah laporan koran Prancis, L’Equipe, edisi 6 Juni 1938.

Sebelum pertandingan bersejarah itu dimulai, Timnas sudah memberikan kesan positif. "Mereka menarik perhatian dan simpati penonton, karena pemain Hindia Belanda begitu sopan, seperti memberi hormat kepada penonton," ungkap CJ Goorhoff lagi.

Tepat jam 5 sore, wasit Roger Conrie asal Perancis meniup peluit tanpa dimulainya pertandingan antara Timnas Hindia Belanda/Indonesia melawan Hungaria. Ia dibantu dua orang hakim garis, yaitu Carl Weingartner (Jerman) dan Charles Adolphe Delasalle (Prancis).

Stadion Velodorme di kota Reims, Prancis yang sekarang namanya diubah menjadi Stadion Auguste Delaune itu bergemuruh. Sekitar 9 ribu orang penonton (menurut catatan resmi FIFA) menyaksikan pertandingan antara timnas Hungaria  yang menggunakan kostum serba putih melawan Timnas Hindia Belanda/Indonesia yang mengenakan kaos oranye, celana pendek putih dan kaus kaki biru muda.

Sejak awal, Hungaria mendominasi pertandingan ini dengan melakukan bola-bola atas untuk memanfaatkan postur mereka yang jauh lebih tinggi ketimbang lawannya. Taktik itu yang membuat Achmad Nawir dan kawan-kawan kurang bisa mengembangkan permainan di babak pertama. "Namun di babak kedua, permainan tim Hindia Belanda jauh lebih baik. Mereka bermain terbuka dan berani menyerang," tulis Goorhoff.

Kiper Timnas Indonesia, Mo Heng Tan, awalnya tampil kurang percaya diri. "Tapi selanjutnya dia main bagus, dan beberapa kali berhasil menyelamatkan gawangnya dari kebobolan," sebut wartawan Belanda itu.

Setelah berjibaku selama 2 X 45 menit akhirnya Timnas Indonesia harus menelan kekalahan yang sangat telak 0-6. Sedangkan di pertandingan lainnya Tim Oranye Belanda juga takluk dengan skor 0-3 dari Cekoslowakia.

Meski hancur di debutnya tersebut, namun pujian pada Timnas Hindia Belanda tetap datang dari harian-harian Eropa. Hungaria sendiri akhirnya melaju sampai babak final, namun ditundukkan Italia 2-4.

Salah seorang Bintang Timnas Hungaria, Gyorgy Sarosi mengaku cukup berat menghadapi Hindia Belanda meski ia berhasil mencetak gol dalam pertandingan itu. "Dia tak menyangka akan mendapat perlawanan dari tim Hindia Belanda. Banyak kejutan," ungkap Goorhof mengutip keterangan Sarosi.

Sarosi juga menyebut sejumlah pemain Hindia Belanda yang bermain bagus. Diantara Sutan Anwar, Hans Taihuttu, Tjaak Pattiwael serta Suwarte Soedarmadjie. "Kemampuan mereka menyundul bola, beberapa kali mementahkan umpan ke Sarosi dan Toldi, dua pemain depan Hungaria," ungkapnya.

 

Kapten tim Hindia Belanda, Achmad Nawir (berkacamata) bersalaman dengan kapten Tim Hungaria sebelum bertanding. (Foto by: nationalgeographic.grid.id)

Jejak yang Tak Terlacak

Usai dikalahkan Hungaria, Timnas Indonesia kembali ke Belanda dan menggelar laga persahabatan dengan de Oranje di Stadion Olimpiade, Amsterdam pada 26 Juni 1938. Hasil akhirnya 9-2 untuk timnas Belanda!

Setelah tiga bulan berada di Eropa, mereka pulang ke tanah air pada 1 Juli 1938. Tiga pekan lamanya mereka diatas lautan sebelum akhirnya berlabuh kembali di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Tidak ada catatan yang menunjukkan kiprah para pemain Timnas Indonesia selanjutnya setelah pesta Piala Dunia 1938 berakhir. "Tidak jelas kemana mereka," demikian laporan situs berita yang dikelola di Belanda, Java Post dalam artikel berjudul Een historische voetbalreis yang diunggah 23 Maret 2012 lalu.

Kabarnya, kiper kelahiran 28 Februari 1913, Mo Heng Tan sempat lolos seleksi untuk kembali memperkuat Timnas Indonesia dalam laga persahabatan melawan klub dari Singapura pada 1951.

Kisah tragis dialami pemain tengah Frans Alfred Meeng. Menurut situs Java Post, pemain kelahiran 1910 ini ikut menjadi korban di kapal Jepang Junyo Maru yang ditenggelamkan kapal selam Inggris. Kapal kargo yang mengangkut para romusha dan tawanan itu terbenam di perairan Sumatra pada 18 September 1944.*

 

 

 

Rabu, 12 Maret 2025

Oleh Pribumi dan Tionghoa, Nama Kristus Dikumandangkan Seantero Jawa - Sejarah Kekristenan Warga Tionghoa di Jawa (Bagian 10)

 

Disarikan kembali oleh Luddy Eko Pramono



foto milik rosenmanmanihuruk.blogspot.com


Para penginjil Tionghoa seperti Gan Kwee, Ang Boen Swie di Indramayu, Khouw Tek San di Purbalingga, Gouw Kho di Batavia, Thung Goan Hok di Bandung, Yoe Ong Pauw di Cirebon, Oei Soei Tiong di Surabaya dan lain-lainnya memainkan peran yang sangat penting dalam mengabarkan injil kepada sesamanya hingga terbentuknya jemaat-jemaat mandiri.

Kendati para pekabar Injil Tionghoa pertama kali mendengar kekristenan dari para misionaris Belanda, namun karya misi dan perintisan jemaat selanjutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Tionghoa sendiri. 

Kesamaan etnis, budaya serta penguasaan bahasa mandarin oleh para tokoh iman seperti seperti, memungkinkan pekerjaan misi ini lebih dapat diterima oleh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda saat itu. 

Mereka membuka rumah mereka menjadi tempat pengabaran dan pengajaran Injil pada sesamanya. Dan dari tempat itu terjadi pelipat gandaan yang luar biasa. Setiap pengabar injil menghasilkan pekabar-pekabar Injil Tionghoa lainnya yang berkelana dari kota ke kota lainnya.

Bahkan dalam perkembangan berikutnya tokoh-tokoh jemaat Tionghoa itu tidak hanya bertindak sebagai pekabar Injil tetapi juga pemimpin jemaat. Para zendeling NZV nampaknya lebih banyak berperan sebagai pendamping dan pelayan sakramen dari jemaat-jemaat yang baru lahir itu. 

Benih iman itupun tumbuh subur dan menyebar dengan cepat, baik di kalangan peranakan Tionghoa. Seperti gerakan penginjilan yang dilakukan oleh Lee Teng Po, Lee Teng Ho, Lie Kim Tian dan Lee Teng San setelah mereka dikristenkan oleh dua orang misionaris MEC, Worthington dan Baughman.

Dari awalnya 10 orang, persekutuan di sebuah rumah keluarga Tionghoa yang berlokasi di Kampung Muka, Batavia pada sekitar tahun 1905 itupun berkembang begitu pesat. 

Bahkan muncul pula desa-desa pribumi Kristen di pulau Jawa bagian barat. Salah satu contohnya adalah Cideres, Majalengka yang berdiri sejak 1900 atas prakarsa J. Verhoeven, seorang misionaris utusan Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV).

Begitu menginjakkan kakinya di Tanjung Priok pada 4 April 1876, Verhoeven langsung ke Indramayu. Lalu pada 29 Juni 1876 ia mulai mengabarkan Injil di daerah Majalengka.

Pada tahun 1878 ia mendapat bantuan dari dua orang penginjil pribumi, Soleiman Djalimoen dan Yakobus Ariin yang telah di-Kristen-kan oleh pengabar injil dari Batavia, F.L. Anthing. 

Dalam menjalankan aksi penginjilannya, kedua misionaris lokal itu tidak langsung menyampaikan kabar keselamatan Kristus namun memberikan pertolongan pada mereka yang sakit.

Orang-orang itulah yang kemudian mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. Djalimoen dan Ariin pun membawa mereka pada Verhoeven untuk mendapatkan pengajaran berikutnya.

Dari merekalah tumbuh benih-benih baru nan subur di kalangan pribumi. Namun pada waktu itu kehidupan petobat-petobat baru itu sangat berat. Mereka dikucilkan dari kehidupan masyarakat serta mendapat tekanan-tekanan berat. 

Lalu Verhoeven pun mengajukan permohonan pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar diberi ijin pemakaian tanah untuk pemukiman orang-orang Kristen baru tersebut. Permohonan itu mendapat respon positif. Dan pada secara resmi berdirilah sebuah desa Kristen di Cideres.

Yakobus Ariin setia melayani di Cideres hingga meninggal dunia pada 11 November 1923. Sau setengah tahun kemudian, tepatnya pada 1 Juni 1925 Soleiman Djalimoen pulang ke rumah Bapa di surga. 

Sebelumnya J. Verhoeven meninggal dunia di tengah-tengah jemaatnya dan dimakamkan di Cideres pada 31 Juli 1922. Tugasnya dilanjutkan oleh misionaris lainnya,  A.K. de Groot.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa munculnya pekabaran Injil di tanah Jawa bukan semata-mata warisan dari badan zending Belanda, namun lebih banyak dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dan kaum pribumi yang awam. 

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada perkembangan selanjutnya ada juga orang-orang Tionghoa maupun pribumi yang memutuskan menjadi Kristen karena alasan politis dan pencarian status sosial di tengah masyarakat. Kekristenan selalu diasosiasikan dengan agama penguasa. 

Dan bagi sebagian orang yang tinggal di Jawa saat itu, agama Kristen dianggap memiliki prestise dan kehormatan yang tinggi. Apalagi dengan diberlakukannya pemisahan golongan seperti Eropa dan Indo-Eropa, Timur Asing dan Pribumi.

Mereka berharap, dengan menjadi Kristen bakal memiliki posisi yang terhormat dan secara politik dapat mendekatkan dirinya dengan para penguasa kolonial yaitu Belanda yang tentu saja berimplikasi langsung pada kesejahteraan hidup.*(tamat)

Selasa, 04 Maret 2025

Sejarah Kekristenan Warga Tionghoa di Jawa (Bagian 9) - Gerakan Pietisme yang Giatkan Penginjilan di Tanah Jajahan

Disarikan kembali oleh Luddy Eko Pramono

Melalui pertemuan komunitas seperti ini, benih iman kekristenan ditaburkan pada warga Tionghoa di Jawa.(foto by: www.mirror.co.uk)


Selepas masa pendudukan Inggris di Indonesia yang berakhir pada 1816, Eropa dilanda sebuah gerakan yang bernama Pietisme, yakni gairah penginjilan pada suku-suku di wilayah koloni Eropa.

Dari awal abad ke 18 yang kemudian kian membara di abad ke-19, kaum Pietis ini menyadari bahwa pekabaran injil pada bangsa yang belum mengenal Kristus adalah tugas gereja yang sangat penting.

Maka berdirilah berbagai lembaga zending untuk membawa orang-orang kepada Yesus Kristus, termasuk bagi warga etnis Tionghoa. Pekabaran injil kepada orang-orang Tionghoa pada masa kolonial Belanda memang dapat dikatakan terlambat. Badan zending Belanda lebih memprioritaskan suku-suku setempat. 

Baru pada 26 Maret 1929 didirikan Badan Misi 'Chinese Foreign Mission Union' oleh R.A. Jaffray, Lelnd Wang, Tzau Liu Thang an Hwang Yen Tsu di Guanxi Tiongkok. Badan misi ini khusus melayani orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk wilayah Hindia Belanda.

Namun sebelumnya, di akhir abad ke 19 sudah ada tiga kelompok misi Eropa yang melakukan upaya penginjilan terhadap masyarakat Tionghoa yang berdomisili di wilayah Hindia Belanda. 

Mereka adalah The Methodist Episcopal Church (MEC), Nederlandshe Zendings Vereeniging (NZV) dan Nederlandshe Zendings Genostshap (NZG) yang mengirimkan para misionarisnya ke tanah Jawa.

Dari para misionaris itu ada beberapa orang Tionghoa yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. Diantaranya Gan Kwee, Ang Boen Swie di Indramayu, Khouw Tek San di Purbalingga, Gouw Kho di Batavia,  Thung Goan Hok di Bandung, Yoe Ong Pauw di Cirebon, Oei Soei Tiong di Surabaya pada 1898.

Dan selanjutnya tumbuh dan komunitas Kristen etnis berkulit oriental tersebut justru terjadi atas kiprah para pekabar Injil Tionghoa sendiri. Meskipun para perintis jemaat ini dibaptiskan oleh para pendeta Belanda, namun mereka yang bergiat melakukan pekabaran injil baik melalui penginjilan keliling maupun pertemuan di rumah-rumah. 

Penasehat Nederlandse Zending Vereeniging (NZV), Hendrik Kramer mengatakan gerakan penginjilan yang dilakukan orang-orang Tionghoa telah menjadi penyelamat bagi pekerjaan NZV di Jawa Barat yang nyaris putus asa.(*/bersambung)

Sabtu, 01 Maret 2025

Sejarah Kekristenan Warga Tionghoa di Jawa (Bagian 8) - Benih Iman yang Tumbuh di Paris van Java

 Disarikan kembali oleh Luddy Eko Pramono


Salah satu sudut kawasan pecinan di Kota Bandung pada masa kolonial Belanda. (Foto by: ayobandung.com)


Orang Tionghoa pertama yang dikristenkan di Bandung adalah Thung Goan Hok. Ia menerima sakramen baptis dari Pdt. A. de Haan pada 9 Desember 1888 jauh sebelum badan zendeling mengutus tenaga misinya bagi orang Tionghoa di Bandung pada tahun 1920. 

Setelah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, ia mulai membuka rumahnya di Jl. Gardu Jati 51A dan menyediakan ruangan untuk perkumpulan pekabaran Injil. 

Upaya pekabaran Injil itupun menghasilkan buahnya dengan dibaptiskannya 17 orang dewasa dan anak-anak pada tahun 1889. Peristiwa itu menjadi tonggak sejarah bagi pekabaran Injil dan cikal bakal terbentuknya jemaat Tionghoa di Paris van Java. 

Selama kurun waktu 1888-1920 tersebut, pekabaran Injil di Kota Bandung dilakukan oleh orang-orang Tionghoa sendiri. Hingga pada tahun 1920, orang-orang Tionghoa dimasukan ke dalam jemaat Sunda di Jl. Kebon Jati 46. 

Tetapi setelah jumlah anggota Tionghoa semakin banyak maka timbul keinginan untuk membentuk jemaat sendiri. Hal ini bukan hanya karena perbedaan bahasa antara orang Tionghoa dan orang Sunda melainkan juga ada istiadat. 

Oleh sebab itu pada Maret 1924 dibentuklah Kerkraad (Majelis Gereja) Tionghoa pertama yang terdiri dari Tan Djin Gie, Tan Kim Tjiang, Tan Goan Tjong, Hong To Bin, Hong Han Keng, Tan Tjok Lim, Lie Kok Man, Lim Djong Sin, dan Pdt. Lasschuit sebagai ketuanya. Maka sejak  tahun 1924 secara resmi berdiri gereja Tionghoa di Bandung. 

Selain Thung Goan Hok, orang-orang Kristen Tionghoa lain yang giat mengabarkan Injil di Kota Bandung dan sekitarnya adalah Tan Goan Tjong, Gouw Gwan Jang dan The Tee Bie. 

Mereka mengabarkan Injil hingga ke wilayah lain di Jawa Barat seperti Cimahi, Cianjur, Tasikmalaya, Garut, dan Cirebon dan menghasilkan buah pertobatan yang banyak pula.(*/Bersambung)

Sejarah Kekristenan Warga Tionghoa di Jawa (Bagian 7) Tarian Kaum Beriman di Indamayu

 Disarikan kembali oleh Luddy Eko Pramono


Salah satu rumah tua di kawasan pecinan Indramayu. (Foto by: ayocirebon.com)



Mengutip buku Peringatan 100 Tahun GKI Djabar Indramaju 1858-1958 dan tulisan zendeling S. Coolsma dalam De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indië, tersebutlah seorang Tionghoa bernama Ang Boen Swi.

Sebelum mengenal kekristenan, Ang Boen Swi sangat taat akan kepercayaan leluhurnya. Selain itu ia juga dikisahkan rajin melakukan adat istiadat etnisnya, Tionghoa.

Diceritakan, suatu saat ia melihat seorang misionaris Belanda, Pdt. J.A.W. Kroll yang sedang membaca Alkitab di suatu tempat di luar kota Indramayu. Karena penasaran, iapun bertanya mengenai buku itu. Pdt. Kroll pun meresponnya dengan menerangkan secukupnya tentang keselamatan yang diberikan Yesus Kristus pada semua umat manusia. 

Bukan hanya itu, saat akan berpisah pendeta Belanda itu meminjami Ang Boen Swi Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu. Kemudian ia membaca Alkitab itu hingga akhirnya ia diketahui menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Memang tidak banyak catatan yang mengulas mengenai proses pertobatan Ang Boen Swi. Bisa jadi ia mengalami pergulatan batin yang cukup panjang saat berusaha mencari jaminan keselamatan hidupnya setelah mati nanti. 

Pergulatan batin serupa juga sempat dialami oleh Ang Dji Gwan, anak laki-laki Ang Boen Swi. Pada mulanya ia sangat menentang keras keputusan ayahnya untuk menjadi seorang Kristen. 

Sebagai laki-laki Tionghoa, Ang Dji Gwan memahami betul konsep tradisional yang mewajibkan kepala keluarga atau anak laki-laki memimpin acara penyembahan pada leluhur. Jika keluarganya menjadi Kristen maka tidak ada lagi yang sembahyang kepada nenek moyang dan akan mendatangkan kutukan (Put Hau).

Meski begitu Ang Boen Swi berhasil mengajak seluruh anggota keluarganya termasuk Ang Dji Gwan mengimani ajaran Kristus. Bahkan keduanya bahu-membahu dalam pekabaran Injil pada teman seetnis dan para kerabat mereka di sekitar Indramayu. 

Saat beberapa orang sudah mulai tertarik, mereka pun membuka rumah untuk kebaktian, pekabaran Injil dan penelahan Alkitab di kota Indramayu yang terletak di sekitar lembah Cimanuk.

Pada 13 Desember 1858 Pdt. J.A.W. Kroll membaptis 19 orang Tionghoa di Indramayu. Mereka terdiri dari 6 orang anggota keluarga Ang Boen Swi, 4 orang anggota keluarga Lauw Pang, 7 orang keluarga Lie Hong Leng dan 2 orang dari keluarga Tjie Tek. 

Peristiwa pembaptisan itu menandai lahirnya kelompok jemaat Tionghoa pertama di Jawa Barat. Bahkan pada saat Pdt. J. L. Zeger, utusan NZV melayani di Indramayu, Ang Dji Gwan diangkat sebagai asisten pendeta.

Orang-orang Tionghoa Kristen di Indramayu dikenal sebagai kelompok masyarakat yang berkarakter baik, murah hati dan bersedia membantu. Hingga masa kini jemaat rintisan Ang Boen Swi masih tetap berdiri dan menjadi gereja berlatar belakang Tionghoa paling tua di Jawa Barat. 

Apa yang dilakukan oleh bapak dan anak tersebut berhasil menginspirasi petobat lainnya, Tan Ki An untuk membuka rumahnya bagi pekabaran injil pada orang Tionghoa di Indramayu. 

Kelompok baru ini bahkan tidak hanya menarik orang-orang Tionghoa tetapi juga berhasil memperkenalkan kekristenan pada masyarakat Suku Sunda dan Suku Jawa, khususnya yang tinggal di daerah Tamiyang serta Juntikebon.(*/bersambung)

Minggu, 23 Februari 2025

Kepala Sarip Tambak Oso Dihargai Hingga 500 Gulden

Oleh: Jaludieko Pramono *)



Dalam kisah-kisahnya yang tertulis di berbagai koran berbahasa Belanda pada era tahun 1905 hingga 1912, Sarip Tambak Oso menjadi pribumi yang paling dicari oleh para Pamong Praja dan juga pemerintah kolonial pada masa itu.

Kisahnya bermula di tahun 1905. Koran The Lokomotiv yang terbit tanggal 23 Agustus menuliskan berita tentang beberapa kepala desa yang bersepakat menangkap Sarip Tambak Oso dengan cara apapun. Tak dijelaskan kepala desa mana saja yang dimaksud.

Keputusan itu diambil lantaran sang jagoan tersebut telah menikam Lurah Tambak Rejo beberapa kali dan meninggalkannya begitu saja dalam keadaan terluka hingga mati. Dituliskan di koran itu, Sarip diduga melarikan diri ke Desa Tambaksari.

Peristiwa itu membuat pada Kepala Desa di distrik Gedangan menjadi tidak nyaman. Koran tersebut menuliskan, “Dia (Sarip-red) membuat beberapa desa dari distrik ini tidak aman, dan merampok, mengancam semua yang datang kepadanya.” Karena itu merekapun berjanji akan memberikan hadiah sebesar 80 gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Sarip Tambak Oso, baik hidup maupun mati. 

Dan akhirnya datang seseorang yang tak disebut namanya. The Lokomotiv mengidentifikasinya sebagai, “Seorang Pribumi yang juga dikenal sebagai bajingan, dan juga sering bepergian dengan Sarip”. Orang itu meminta uang muka sebesar 30 gulden. 

Iapun mencari Sarip di desa Kedoeren, entah dimana lokasinya sekarang ini. Disana mereka berkelahi dan Sarip berhasil ditangkap hidup-hidup. Pria yang disebut The Lokomotive sebagai ‘Subjek yang terkenal kejam’ itu diserahkan pada lurah yang kemudian diteruskan ke Asisten Wedono sebelum akhirnya dipenjara.

Kisah tentang harga kepala Sarip berlanjut sebagaimana ditulis di koran Het Nieuws Van Der Dag pada 3 Januari 1912, atau 7 tahun berselang setelah peristiwa pertama tadi. Berita itu dibuka dengan narasi tentang kaburnya Sarip dari penjara Sidoarjo sejak 10 bulan sebelumnya, atau sekitar Pebruari 1911.

Di koran itu Sarip divonis 10 tahun kerja paksa dan baru menjalani masa hukumannya selama kurang lebih setahun saat melarikan diri dari balik jeruji besi. Untuk itu dijanjikan hadiah sebesar 250 Gulden bagi siapa saja yang bisa menangkapnya kembali. Tapi tidak dijelaskan di koran itu, siapa yang menyediakan hadiahnya.

Besaran hadiah menarik perhatian “gewikste Soerabajasohe commissarissen van politie” atau salah seorang komisaris polisi Surabaya yang cerdas. Ia pun melepas mata-mata untuk mencari Sarip yang saat itu diperkirakan masih berada di wilayah Sidoarjo.

Mata-mata itu ditugaskan untuk mengajak Sarip ke  “naar Roenkoet Tenggah, een stranddorpje in de buurt, dat bekend staat als een miniatuur inlandsch Monte C.trlo, vao wege het gedobbel, dat daar dag en nacht plaats heeft”. Kira-kira terjemahan bebasnya begini, ‘ke Rungkut Tengah, sebuah desa pantai terdekat yang dikenal sebagai miniatur Monte Carlo, karena disana ada rumah dadu yang buka terus menerus mulai siang hingga malam’.

Seluruh strategi itu berjalan lancar. Dan pada saat yang ditentukan, sang komisaris polisi itu memutuskan untuk segera melakukan penggerebekan. Pasukannya ia apelkan di sekitar Jembatan Panjang Jiwo Surabaya. 

Tapi skenario penangkapan itu gagal total gara-gara ulah polisi dari Polsek Rungkut Tengah yang berada di luar koordinasi sang komisaris polisi asal Surabaya itu. Ia datang ke lokasi tersebut dengan mengendarai kereta kuda yang berlampu terang benderang. 

Tak hanya itu, ‘politiemantrie van Roenkoet’ tersebut juga memakai ‘en de breede zilveren band om zn dienstpet was op een halve mijl afstands te herkennen’ yang artinya topi dengan pita perak lebar yang dapat dikenali dari jarak setengah mil.

Melihat itu, orang-orang mengira akan ada razia ke rumah-rumah judi dadu di Rungkut Tengah. Merekapun, bergegas memperingatkan seluruh bandar disana. Sehingga saat komisaris polisi tadi bersama pasukannya tiba di TKP, mereka melihat rumah-rumah judi itu tutup. 

Dan tentu saja, orang yang mereka buru, Sarip Tambak Oso juga ikut menghilang. Lenyaplah sudah peluang untuk mendapatkan hadiah 250 Gulden tadi, atau kalau dirupiahkan dengan menggunakan kurs hari ini, kira-kira senilai Rp 2.068.250,-.

Kegagalan operasi penangkapan ini membuat ‘harga’ Sarip Tambak Oso terdongkrak menjadi 500 Gulden. Hal itu tersurat di pemberitaan yang ditayangkan koran Het Nieuws Van Der Dag pada 7 Pebruari 1912, atau dua hari setelah penulisan peristiwa penembakan Sarip.

Dituliskan disana, ‘ondanks de premie op zijn aanhouding gebracht was van f 250 op f 500’, yang penerjemahan bebasnya ‘meskipun harga mahal untuk penangkapannya mulai 250 gulden sampai  500 gulden’.

Koran ini sepertinya lumayan rajin me-running berita soal SaripTambak Oso. Di edisi tanggal 1 Maret 1912 muncul lagi berita tentang pesta pora yang digelar Wedono Gedangan atas keberhasilan polisi menangkap  Sarip.

Disitu dituliskan, “Op Gedangan werd dezer dagen een groote slametan gegeven uit vreugde dat men in dat district eindelijk verlost is van den beruohten boosdoener Sarip, die door zijn brutale rooverijen en moorden de schrik van de bevolking was. De Wedono van Gedangan was natuurlijk niet weinig in zijn nopjes, want Sarip was een nachtmerrie voor hem’.

Kira-kira artinya begini, “Sebuah selamatan besar telah dilakukan hari ini di Gedangan dalam kegembiraan karena kabupaten akhirnya telah dibebaskan dari Sarip yang terkenal kejam, yang perampokan dan pembunuhan brutalnya telah meneror penduduk. Wedono Gedangan tentu saja senang, karena Sarip adalah mimpi buruk baginya”.

Namun pasca perayaan tadi, muncul persoalan terkait siapakah yang paling berhak menerima hadiah penangkapan Sarip. Cerita itu diberitakan lagi oleh koran Het Nieuws Van Der Dag pada 3 Maret 1912. 

Ini berita lengkapnya sebagaimana saya kutip dari koran lama koleksi https://www.delpher.nl/, situs yang dikembangkan Perpustakaan Nasional Belanda.

Een Belooningskwestie

Er, is, naar wij in het Soer. Hbld. lezen, kwestie over de premie van f 500 die gesteld was op de aanhouding van den beruohten roover Sarip. Zooals men weet werd deze bandiet kortelings toen men hem wilde arresteeren gedood.

De zoon van den wedono van Gedangan schoot hem neer en is nu om de premie gekomen. Een politie-oppasser, die aan Sarip een klewangslag toebracht en hem daardoor buiten gevecht stelde, meent ook rechten op de premie te hunnen doen gelden. 

Samen deeien willen de heeren niet. Het bestuur heeft thans uit te maken wie de meeste rechten heeft.

Terjemahan bebasnya:

Masalah Hadiah

Sebagaimana dikutip dari Sur. hbld.(Surabaijas Handelsblad-red), pertanyaan tentang hadiah 500 gulden untuk penangkapan perampok terkenal Sarip. Seperti diketahui, bandit itu tewas saat hendak ditangkap belum lama ini.

Putra wedono Gedangan menembaknya, dan sekarang telah datang untuk mendapatkan hadiah. Tapi seorang petugas kepolisian, yang melakukan pukulan klewang pada Sarip yang membuatnya tak berdaya, juga mengklaim hak atas hadiah tersebut. 

Namun masalahnya, keduanya tak mau berbagi hadiah itu. Karena itu dewan lah yang sekarang harus memutuskan, siapa yang paling berhak.(Tamat)

*) Penulis adalah penikmat sejarah di Sidoarjo.

Jumat, 21 Februari 2025

Sarip Tambak Oso, Antara Kisah Ludruk dan Pemberitaan Koran Belanda

 Oleh: Jaludieko Pramono



Sarip Tambak Oso adalah nama yang melegenda di Kabupaten Sidoarjo. Dan sebagai seorang legenda, nama itu bergerak liar diantara ruang fakta dan mitos, antara data sejarah yang tertulis dan kisah rakyat yang menyebar dari mulut ke mulut.



Tapi diantara kesimpang-siuran tersebut, satu hal yang bisa dipastikan, bahwa Sarip Tambak Oso adalah sosok historis. Ia adalah seorang pribadi yang benar-benar hidup di rentang waktu akhir abad ke 19 hingga awal abad 20.


Hal itu dibuktikan dengan adanya berita yang termuat di koran-koran lokal di masa kolonial Belanda. Tulisan-tulisan tentang Sarip tersurat di koran The Lokomotiv tanggal 23 Agustus 1905, Het Nieuws Van Den Nederlandsch-Indie tanggal 18 Mei 1908 dan Het Vaderland tanggal 4 Maret 1912.


Koran pertama mendiskripsikan Sarip sebagai sosok yang kejam. Ia adalah residivis sekaligus buron yang berhasil lolos dari beberapa rumah tahanan. Bahkan dengan jelas koran ini menyebut Sarip telah melakukan perampokan.


Dalam penulisannya itu, The Locomotiv menyebut Sarip telah membunuh Lurah Tambakrejo dengan cara menusuk hingga beberapa kali. Selanjutnya ia dikabarkan melarikan diri yang diperkirakan ke sebuah kawasan yang disebut Tambaksari.


Usai kejadian itu, beberapa lurah di distrik Gedangan bersepakat untuk menangkap Sarip. Bahkan mereka menjanjikan hadiah sebesar 80 gulden bagi siapa saja yang berhasil menangkap orang yang disebut-sebut telah membuat desa-desa di wilayah itu menjadi tidak aman.


Di akhir berita, Sarip dikisahkan berhasil ditangkap atas jasa “seorang pribumi yang juga dikenal sebagai bajingan, dan juga sering bepergian dengan Sarip”. Cerita penangkapan itu diwarnai dengan perkelahian.


Sarip yang berhasil dibekuk hidup-hidup, kemudian diserahkan pada lurah. Berikutnya ia dikirim ke asisten wedono yang membawahi distrik Gedangan untuk kembali dipenjarakan. Namun tak disebutkan dimana ia dibui.


Nama Sarip kembali muncul di pemberitaan Het Nieuws Van Den Nederlandsch-Indie" tanggal 18 Mei 1908. Dari tulisannya, rupanya koran ini menuliskan kembali berita yang sebelumnya sudah termuat di koran Soerabaijasch Handelsblad.


Dan lagi-lagi, kisah minorlah yang tersaji tentang sosok ini. Ia dikabarkan kembali melakukan aksi pembunuhan terhadap seseorang bernama Brahim di depan rumah Raden Miti di kawasan Sepanjang. Selain itu ia juga melukai seorang lainnya bernama Dolah.


Kedua korban itu diidentiikasikan berasal dari Desa Ngeni, Kecamatan Gedangan.
Yang menarik, koran ini juga menyebut Sarip sebagai warga desa Tambakredjo, Kecamatan Sedati. Namun ia malah ditulis sebagai seorang pekerja paksa pengguna narkoba dari Padang. Sarip juga didiskripsikan sebagai buronan polisi yang sulit ditemukan karena kepala kampung yang malas.


Kisah di koran ini bermula dari seorang perempuan cantik bernama Marmi. Perempuan itu pergi bersama dengan dua orang lelaki tadi dengan menaiki dokar. Saat dokar melintas di kawasan Sepanjang, mereka bertemu dengan Sarip.


Disana mereka sempat cekcok. Sarip memukul Marmi yang disebut tidak setia karena ia tak menemukan perempuan itu di rumah. Tapi Marmi berusaha membela diri. Ia mengaku dipaksa oleh Brahim dan diancam akan dibunuh jika tak mau mengikutinya.


“Akibatnya, Brahim dan Sarip pun bertarung. Yang pertama dipersenjatai dengan tombak, yang lainnya dengan golok. Brahim kalah dan menjadi mayat. Doelah dipukul.” Begitu terjemahan bebas yang dilakukan Bony Suwandi, seorang pegiat sejarah Sidoarjo sebagaimana dikutip dari facebook Sidoarjo Masa Kuno.


Setelah melakukan aksinya itu, Sarip disebutkan pergi dengan tenang naik dokar ke desanya. Aparat kepolisian kolonial dari Taman dan Sepanjang pun memburu Sarip. Mereka menggerebek Sarip di tempat persembunyiannya. Namun baru beberapa jam kemudian Sarip berhasil ditangkap di rumahnya oleh wedono Sedati. 


Akhir hidup Sarip pun terdokumentasikan melalui pemberitaan di koran Het Vaderland tanggal 4 Maret 1912. Lagi-lagi, koran ini juga mengutip berita dari surat kabar Soerabaijasch Handelsblad. Dituliskan disana, “perampok Sarip yang bersangkutan ditembak mati oleh polisi yang mengejarnya.”


Warga desa Tambak Reso itu disebut sempat kabur dari penjara di Surabaya. Selama masa pelarian, ia diperkirakan berkeliaran di desa Tambaksari, Tambakrane, Sumur, Gedong Asri, Rungkut, Menangal dan Rungkut Tengah.


Bony menyebutkan, dalam berita itu dijelaskan, saat itu daerah Rungkut Tengah dulu terkenal sebagai pusat rumah judi dadu yang terus buka dari siang hingga malam hingga dijuluki Monte Carlo mini. Disebut juga, daerah Rungkut Tengah di masa itu berada di dekat pantai.


Pada 30 Januari lalu, Wedono menerima laporan mata-mata dari Gedangan bahwa Sarip berada di rumah saudaranya,  Marup di desa Tambak Reso. Keesokan harinya, petugas kepolisian menggerebek rumah itu.


Marup disebut sempat melakukan perlawanan dan berusaha menghalang-halangi usaha polisi. Setelah beberapa saat akhirnya polisi berhasil masuk ke dalam rumah itu dan melakukan penggeledahan, namun Sarip tak ditemukan.


Lalu seorang polisi menemukan jalan setapak baru menuju ke keris di belakang rumah Marup. Ia memperkirakan Sarip melarikan diri melalui rawa. Polisi pun mengejar Sarip hingga ke tepi sungai. Saat melihat adanya perahu yang tertambat disana, merekapun meyakini buruannya masih berada di wilayah desa Tambak Rejo.


Pukul 11 pagi, polisi melihat Sarip yang memegang senjata berupa pisau panjang melengkung, sebenarnya semacam pedang (telangkas). Ia memburu seorang petugas polisi. Petugas itu berusaha kabur hingga ia bertemu dengan putra wedono yang dikawal seorang prajurit Beaumont. 


Petugas itu membidik Sarip dari jarak 25 meter. Meski dada kanannya tertembak, Sarip tetap berusaha melarikan diri. Polisi pun memburunya hingga ke kawasan Tebel.


Berikutnya, atas perintah Wedono, seorang prajurit kembali menembak Sarip dan mengenai dada kirinya. Sarip pun tewas dan jenazahnya dibawa ke Wedono Gedangan. 


Di bagian akhir, koran itu menulis, “seluruh penduduk asli dari desa-desa tetangga mengerumuni penguasa teror yang terbunuh itu. Nanti jenazah dibawa ke Sidoardjo, supaya bupati bisa melihat kematian subjek berbahaya ini.”


Inilah data-data sejarah yang tertulis tentang Sarip, sang legenda dari Tambak Reso. Koran-koran Belanda mengidentifikasinya sebagai seorang perampok, pembunuh, pengguna narkoba, pembuat onar yang kerap keluar masuk penjara. 


Penguraian tentang identitas Sarip ini jelas ini sangat tidak nyaman bagi orang-orang yang terlanjur menganggapnya sebagai pahlawan lokal, tapi setidaknya itulah fakta yang tertulis sebagai data historis paling akurat. 


Terlepas dari pemberitaan di koran-koran itu, kisah rakyat yang beredar justru membuat identifikasi yang berbeda. Sarip justru ditempatkan sebagai sosok yang berani melawan pemerintah kolonial Belanda. 


Setidaknya itu yang bisa kita tangkap dari penggambaran Sarip melalui lakon-lakon pementasan Ludruk. Dari mana landasan kisahnya, tentu saja tidak jelas, hanya dari mulut ke mulut saja yang bergerak melintasi masa. 


Namun dalam kisah-kisah itu diksi peristiwa heroismenya justru sangat minim. Paling hanya saat ia membunuh Lurah Tambak Rejo, yang dianggap sebagai antek penjajah, lantaran telah berbuat kasar dan kejam terhadap ibu Sarip. Selebihnya nyaris tidak ada, kecuali dari ujaran-ujaran sang tokoh saja dalam scene-scene selanjutnya.


Ketokohan Sarip bagi warga Desa Tambak Reso atau Tambak Rejo mungkin timbul dari perilakunya yang dimitoskan sebagai Robin Hood Van Sidoarjo. Yakni seorang pencuri yang baik hati karena suka membagi-bagikan hasil jarahannya pada orang-orang di sekitarnya.


Namun aksi patriotismenya yang bertujuan memerangi penjajahan di wilayahnya sepertinya masih perlu diuji lebih lanjut. Karena itu para pegiat sejarah, khususnya di Kabupaten Sidoarjo harus lebih tekun lagi berburu data historis tersebut ketimbang sibuk mencari dimana sejatinya makam Sarip Tambak Oso yang melegenda itu. 


Jika kita tidak terlalu percaya dengan pemberitaan koran-koran berbahasa Belanda di jaman itu yang dinilai terlalu tendensius ke kepentingan pemerintah kolonial, setidaknya kita bisa mencari cerita tentang Sarip dari koran-koran Bumiputera yang terbit di awal abad ke 20.


Atau bisa juga data dari koran berbahasa Belanda lainnya, namun yang menyebut Sarip sebagai seorang pemberontak atau ia melakukan aksi-aksi yang dinilai sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga tak perlu ragu lagi untuk menjadikan Sarip sebagai local Hero Sidoarjo.(bersambung)
*) penulis adalah penikmat sejarah di Sidoarjo