Minggu, 06 April 2025

Sebuah Catatan Timnas ‘Indonesia’ di Piala Dunia 1938

 Ditulis kembali oleh: Luddy E. Pramono

 

Pemain, pelatih dan ofisial Tim Hindia Belanda yang diterjunkan di ajang Piala Dunia 1938 di Prancis.(Foto by: nationalgeographic.grid.id)


Dari Pelabuhan Tanjung Priok, Timnas Indonesia berangkat pada 27 April 1938. Tim ini berkekuatan 17 pemain dan ofisial yang dipimpin seorang pelatih berkebangsaan Belanda, Johannes Mastenbroek.

Data dari nationalgeographic.grid.id menyebut, nama-nama pemain yang tergabung di timnas Indonesia atau Hindia Belanda kala itu adalah Tan "Bing" Mo Heng (HCTNH Malang) dan Jack Samuels (Hercules Batavia) yang berposisi sebagai penjaga gawang.

Di posisi bek ada beberapa nama seperti Harting J. Dorst (Houdt Braaf Stand/HBS Soerabaja), Frans G. Hu Kon (Sparta Bandung) dan Teilherber (Djocoja Djogjakarta).

Sedangkan pemain tengahnya antara lain G.H.V.L. Faulhaber (Djocoja Djogjakarta), Frans Alfred Meeng (SVBB Batavia), Achmad Nawir (HBS Soerabaja), Anwar Sutan (VIOS Batavia), G. Van den Burgh (SVV Semarang)

Lalu barisan penyerangnya adalah Tan Hong Djien (Tiong Hoa Soerabaja), Tan See Han (HBS Soerabaja), Isaac "Tjaak" Pattiwael (Voetbal Vereniging/VV Jong Ambon Tjimahi), Suwarte Soedarmadji (HBS Soerabaja), M.J. Hans Taihuttu (VV Jong Ambon Tjimahi), R. Telwe (HBS Soerabaja) dan Herman Zomers (Hercules Batavia)

Sebagaimana dikutip dari surat kabar mingguan yang terbit di Batavia, Java Bode, sebulan lamanya Timnas Indonesia yang akan berlaga di ajang Piala Dunia 1938 itu mengarungi lautan di atas Kapal Baluran menuju pelabuhan Genoa di Italia.

Situs Java Post menulis, rombongan atlet dan pelatih sepakbola itu melanjutkan perjalanan dari Genoa menuju Belanda dengan menggunakan moda transportasi kereta api. "Disambut hujan gerimis serta ratusan penggemarnya, mereka tiba di stasiun Den Haag pada 18 Mei," begitu yang tertulis di situs tersebut. Beberapa ratus orang penggemar menyambut kedatangan mereka dengan teriakan yel-yel.

Di Kota Wassenaar, tim Indonesia tinggal selama sebulan. Mereka menginap di Hotel Duinoord. Selama disana mereka berlatih sekaligus menggelar sejumlah latih tanding dengan sebuah klub asal Den Haag yang berakhir dengan skor 2-2 serta melawan klub dari kota Haarlem yang diakhiri dengan kemenangan 5-3.

Di awal Juni, rombongan ini berangkat ke Prancis untuk mengikuti perhelatan piala dunia atau atau Coupe de Monde. Tidak seperti sekarang yang menggunakan pola setengah kompetisi di babak penyisihan grup, kala itu seluruh pertandingan menggunakan sistem gugur.

                                     


Kesebelasan tim Hindia Belanda berfoto sebelum berlaga melawan Hungaria di Piala Dunia 1938. (Foto by: nationalgeographic.grid.id)

Aksi Para Kurcaci

Pada 5 Juni 1938, Timnas Hindia Belanda alias Indonesia melakoni debutnya di Piala Dunia. Satu-satunya wakil dari Benua Asia itu bertanding melawan tim kuat Eropa sekaligus kandidat juara dunia, Hungaria di Stadion Reims, Prancis.

Semula Jepang yang ditunjuk, namun karena kendala transportasi, negara itu mengundurkan diri. Hindia Belanda akhirnya menggantikan posisi itu tanpa melalui ajang kualifikasi piala dunia seperti yang dilakukan saat ini.

Dalam buku sejarah piala dunia terbitan London disebutkan, para pemain Hindia Belanda didominasi para pelajar. Selain itu ada juga laporan yang menulis mereka adalah para pegawai yang bekerja untuk pemerintah kolonial. “Kapten timnya (Achmad Nawir-red) seorang dokter yang menggunakan kacamata,” tulis wartawan The Times yang meliput pertandingan itu.

Sejumlah catatan menunjukkan, para pemain Hindia Belanda, sebagian besar berusia sekitar 25 tahun. Mereka kelahiran antara tahun 1912 hingga 1916. Hanya seorang yang kelahiran 1909, yaitu Hans Taihuttu.

Laporan sebuah koran Perancis yang dikutip The Times menyebut para pemain Hindia Belanda ini “Bien trop petits” alias bertubuh pendek. "Rata-rata tinggi mereka sekitar 160 sentimeter,” tulis wartawan olahraga Belanda, CJ Goorhoff, yang meliput langsung laga di Stadion Rheims. Frans Meeng menjadi pemain tertinggi dengan postur 178 sentimeter.

Adapun berat badan mereka berkisar antara 65 kilogram sampai 70 kilogram. Walikota Reims menjuluki Timnas Hindia Belanda itu mirip kurcaci. "Saya seperti melihat pesepakbola Hungaria dikerubuti 11 kurcaci," katanya berkelakar.

Meski tergolong pendek, imbuhnya, para pemain depan Hindia ternyata jago menggocek bola. "Gaya menggiring bola pemain depan Tim Hindia Belanda, sungguh brilian…,” begitulah laporan koran Prancis, L’Equipe, edisi 6 Juni 1938.

Sebelum pertandingan bersejarah itu dimulai, Timnas sudah memberikan kesan positif. "Mereka menarik perhatian dan simpati penonton, karena pemain Hindia Belanda begitu sopan, seperti memberi hormat kepada penonton," ungkap CJ Goorhoff lagi.

Tepat jam 5 sore, wasit Roger Conrie asal Perancis meniup peluit tanpa dimulainya pertandingan antara Timnas Hindia Belanda/Indonesia melawan Hungaria. Ia dibantu dua orang hakim garis, yaitu Carl Weingartner (Jerman) dan Charles Adolphe Delasalle (Prancis).

Stadion Velodorme di kota Reims, Prancis yang sekarang namanya diubah menjadi Stadion Auguste Delaune itu bergemuruh. Sekitar 9 ribu orang penonton (menurut catatan resmi FIFA) menyaksikan pertandingan antara timnas Hungaria  yang menggunakan kostum serba putih melawan Timnas Hindia Belanda/Indonesia yang mengenakan kaos oranye, celana pendek putih dan kaus kaki biru muda.

Sejak awal, Hungaria mendominasi pertandingan ini dengan melakukan bola-bola atas untuk memanfaatkan postur mereka yang jauh lebih tinggi ketimbang lawannya. Taktik itu yang membuat Achmad Nawir dan kawan-kawan kurang bisa mengembangkan permainan di babak pertama. "Namun di babak kedua, permainan tim Hindia Belanda jauh lebih baik. Mereka bermain terbuka dan berani menyerang," tulis Goorhoff.

Kiper Timnas Indonesia, Mo Heng Tan, awalnya tampil kurang percaya diri. "Tapi selanjutnya dia main bagus, dan beberapa kali berhasil menyelamatkan gawangnya dari kebobolan," sebut wartawan Belanda itu.

Setelah berjibaku selama 2 X 45 menit akhirnya Timnas Indonesia harus menelan kekalahan yang sangat telak 0-6. Sedangkan di pertandingan lainnya Tim Oranye Belanda juga takluk dengan skor 0-3 dari Cekoslowakia.

Meski hancur di debutnya tersebut, namun pujian pada Timnas Hindia Belanda tetap datang dari harian-harian Eropa. Hungaria sendiri akhirnya melaju sampai babak final, namun ditundukkan Italia 2-4.

Salah seorang Bintang Timnas Hungaria, Gyorgy Sarosi mengaku cukup berat menghadapi Hindia Belanda meski ia berhasil mencetak gol dalam pertandingan itu. "Dia tak menyangka akan mendapat perlawanan dari tim Hindia Belanda. Banyak kejutan," ungkap Goorhof mengutip keterangan Sarosi.

Sarosi juga menyebut sejumlah pemain Hindia Belanda yang bermain bagus. Diantara Sutan Anwar, Hans Taihuttu, Tjaak Pattiwael serta Suwarte Soedarmadjie. "Kemampuan mereka menyundul bola, beberapa kali mementahkan umpan ke Sarosi dan Toldi, dua pemain depan Hungaria," ungkapnya.

 

Kapten tim Hindia Belanda, Achmad Nawir (berkacamata) bersalaman dengan kapten Tim Hungaria sebelum bertanding. (Foto by: nationalgeographic.grid.id)

Jejak yang Tak Terlacak

Usai dikalahkan Hungaria, Timnas Indonesia kembali ke Belanda dan menggelar laga persahabatan dengan de Oranje di Stadion Olimpiade, Amsterdam pada 26 Juni 1938. Hasil akhirnya 9-2 untuk timnas Belanda!

Setelah tiga bulan berada di Eropa, mereka pulang ke tanah air pada 1 Juli 1938. Tiga pekan lamanya mereka diatas lautan sebelum akhirnya berlabuh kembali di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Tidak ada catatan yang menunjukkan kiprah para pemain Timnas Indonesia selanjutnya setelah pesta Piala Dunia 1938 berakhir. "Tidak jelas kemana mereka," demikian laporan situs berita yang dikelola di Belanda, Java Post dalam artikel berjudul Een historische voetbalreis yang diunggah 23 Maret 2012 lalu.

Kabarnya, kiper kelahiran 28 Februari 1913, Mo Heng Tan sempat lolos seleksi untuk kembali memperkuat Timnas Indonesia dalam laga persahabatan melawan klub dari Singapura pada 1951.

Kisah tragis dialami pemain tengah Frans Alfred Meeng. Menurut situs Java Post, pemain kelahiran 1910 ini ikut menjadi korban di kapal Jepang Junyo Maru yang ditenggelamkan kapal selam Inggris. Kapal kargo yang mengangkut para romusha dan tawanan itu terbenam di perairan Sumatra pada 18 September 1944.*